Sabtu, 26 Maret 2011

ASPEK-ASPEK GEOGRAFI


1. Oikumene dan Pemukiman
yaitu bagian dari bumi yang di huni manusia. Asal kata oikumene adalah oikos
yang artinya banyak, misalnya rumah (tempat tinggal), penghuni rumah
(keluarga) sampai rumah tangga (kebutuhan hidup penghuninya).
para ahli geografi meneliti mengapa manusia itu bertempat tinggal di daerah
tersebut? Ex: di dataran rendah, di dataran tinggi, dekat pantai,dekat hutan,
dekat daerah pertanian, dan lain-lain.
geografi dalam membahas pemukiman manusia, objeknya di wilayah perkotaan
dan pedesaan, Desa diartikan sebagai wilayah tempat tinggal penduduk yang
hidup dari proses produksi agraris. adapun kota yang merupakan konsentrasi
penduduk non agraris yang memiliki daya pakairuang lebih intensif(sumber : K.
Wardiyatnoko.2006. geografi untuk kelas X.jakarta:erlangga)
pemukiman yang merupakan tempat hunian manusia termasuk dalam aspek-
aspek geografi dimana didalamnya terdapat manusia dan aktifitasnya yang
terdapat pada ruang desa dan kota.
2.persebaran Penduduk
dapat diketahui dengan tiga cara 1. survei 2. registrasi 3. sensus, sehingga pada
tahun tertentu di suatu wilayah dapat dipetakan, sehingga seluk beluk
kepadatan penduduk yang dapat dilihat oleh pembaca peta, sehingga dapat
dilihat manakah wilayah-wilayah yang padat penduduknya, atau biasanya dalam
menganalisis hal tersebut dapat menggunakan PJ atau Foto udara.
3. Kepadatan Penduduk
dinyatakan dalam angka satuan jiwa untuk tiap luas wilayah (kepadatan
Aritmatik.
yang dipelajari adalah sejauh mana tanah sebagai sumber daya alam
dieksploitasi agar dapat didiami manusia secara tetap. seperti masalah gejala
kelebihan penduduk, atau kekurangan penduduk.(sumber : K.
Wardiyatnoko.2006. geografi untuk kelas X.jakarta:erlangga. jadi dalam aspek-
aspek geografi yang dimaksud arahnya adalah mengetahui kelahiran, kematian
dan migrasi.
KABUPATEN BOJONEGORO
Nilai PDRB (harga konstan) Kabupaten Bojonegoro pada tahun 2005 sebesar Rp
4,4 trilyun rupiah atau naik sebesar 4,91 persen dari tahun sebelumnya. Dari
sembilan sektor dalam pembentukan PDRB, sektor pertanian memberikan
kontribusi terbesar (38,23%), berikutnya sektor perdagangan, hotel dan restoran
(22,50%), dan ketiga sektor jasa-jasa (16,44%).
Topografi wilayah menunjukkan bahwa di bagian Utara sepanjang daerah aliran
Sungai Bengawan Solo merupakan daerah dataran rendah, sedangkan di bagian
Selatan merupakan dataran tinggi di sepanjang kawasan Gunung Pandan,
Kramat dan Gajah. Untuk menanggulangi kekurangan air bagi keperluan
pengairan lahan pertanian di musim kemarau dilakukan pompanisasi untuk
menaikkan air dari Sungai Bengawan Solo. Pompanisasi ini tersebar di delapan
kecamatan yang meliputi 24 desa.
Untuk tanaman pangan, daerah ini banyak memproduksi padi, jagung, ubi kayu,
kedelai, dan kacang hijau. Klaster padi cocok dikembangkan di Kecamatan
Kepohbaru, Sumberejo, dan Balen. Klaster ubi kayu cocok dikembangkan di
Kecamatan Ngambon, Ngasem, dan Malo. Klaster kedelai cocok dikembangkan
di Kecamatan Ngraho dan Balen. Sementara sentra produksi jagung dan kacang
hijau terdapat di Kecamatan Ngasem.
Kabupaten Bojonegoro menghasilkan beberapa produk perkebunan, utamanya
tembakau, tebu, dan kelapa. Tembakau merupakan tanaman perkebunan
andalan bagi masyarakat petani di Kabupaten Bojonegoro. Dua jenis tembakau
yang diproduksi adalah jenis Virginia dan Jawa. Pada tahun 2005 areal tanaman
tembakau Virginia tercatat seluas 10.365 Ha dan tembakau Jawa seluas 474 Ha.
Dengan adanya penambahan luas areal tanam, produksi tembakau Virginia naik
35,77 persen, yaitu menjadi 8.676 ton pada tahun 2005. Sedangkan tembakau
Jawa yang areal tanamnya menurun terjadi pula penurunan produksi dengan
jumlah menjadi 498 ton pada tahun 2005.
Klaster tembakau Virginia (daun rajangan) cocok dikembangkan di Kecamatan
Kepohbaru dan Kanor. Sementara klaster tebu (kristal gula) cocok dikembangkan
di Kecamatan Margomulyo, Kalitidu, Purwosari, dan Padangan. Dan klaster
kelapa (kopra) cocok dikembangkan di Kecamatan Ngraho, Kapas, dan Malo.
me
Untuk subsektor peternakan, hasil produksi dari subsektor peternakan mencakup
daging, telur, dan susu diupayakan terus ningkat sehingga bisa menunjang
kebutuhan gizi masyarakat. Produksi daging dari pemotongan ternak besar dan
kecil sebanyak 3.024 ton daging, dan produksi daging dari ternak unggas
sebesar 7.604 ton daging pada tahun 2005. Pada tahun yang sama produksi
telur mencapai 3.183 ton, dan produksi susu sebanyak 36 ton.
Klaster peternakan Sapi sangat cocok dikembangkan di Kecamatan Tambakrejo,
Kedungadem, dan Ngasem. Klaster peternakan Kambing cocok dikembangkan di
Kecamatan Kedungadem dan Kalitidu. Klaster peternakan Domba sesuai untuk
dikembangkan di Kecamatan Sugihwaras, Kalitidu, dan Malo. Sementara klaster
peternakan Ayam Ras cocok dikembangkan di Kecamatan Kedungadem dan
Baureno. Sedangkan klaster Ayam Buras cocok dikembangkan di Kecamatan
Sugihwaras, Kedungadem, Baureno, dan Sumberejo.
Untuk kegiatan perdagangan, di Kabupaten Bojonegoro terdapat beberapa
sentra perdagangan. Daerah yang menjadi sentra perdagangan ini setidaknya
terlihat dari jumlah penerbitan Tanda Daftar Usaha Perdagangan (TDUP) dan
Wajib Daftar Usaha. Berdasarkan kedua hal itu, sentra perdagangan terdapat di
Kecamatan Bojonegoro, Balen, dan Dnder.
Kombinasi dari interaksi-interaksi sederhana dapat menuntun pada suatu
fenomena baru yang mengejutkan. Dalam berbagai bidang ilmu, interaksi memiliki
makna yang berbeda.
Interaksi wilayah (Spatial Interaction) adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi antara dua wilayah atau lebih, yang dapat melahirkan gejala, kenampakkan dan permasalahan baru, secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi ini berupa perilaku dari pihak-pihak yang bersangkutan melalui kontak langsung atau berbagai media.
Istilah spatial interaction ini berasal dari Ullman dalam bukunya Geography as spatial
interaction (1954). Untuk mengidentifikasikan ketergantungan antar wilayah geografis.
Interaksi merupakan pengertian yang dikenal dalam sosiologi, sebagai gejala salingmempengaruhi antara individu. Dalam sosiologi gejala saling mempengaruhi tidak hanya berlaku pada individu melainkan juga pada obyek-obyek dan ruang yang mewadahi obyek- obyek itu. Sehubungan dengan itu dikenal tiga kelompok dasar yang saling mempengaruhi. Pertama, antara vegetasi dan iklim, tanah dan kawasan lahan; kedua, antara kegiatan manusia dan sifat politis-ekonomis suatu wilayah; ketiga adalah antar rumah tangga dan pertokoan.
Dalam geografi interaksi diartikan sebagai interaksi geografis antar satu wilayah dengan wilayah lain. Begitu juga halnya dengan kota satu dengan kita lainnya. Semakin banyak perbedaan yang ada maka peluang menciptakan interaksi antara ke duanya. Ullman meguraikan tiga unsure interaksi keruangan yang memberi pengaruh pada pola interaksi spatial
Permodelan yang dapat digunakan dalam melakukan analisis terhadap pola interaksi atau keterkaitan antardaerah atau antar bagian wilayah dengan wilayah lainnya, adalah Model Gravitasi. Penerapan model ini ini dalam bidang analisis perencanaan kota adalah dengan anggapan dasar bahwa faktor aglomerasi penduduk, pemusatan kegiatan atau potensi sumber daya alam yang dimiliki, mempunyai daya tarik yang dapat dianalogikan sebagai daya tarik menarik antara 2(dua) kutub magnet.
Kelemahan penerapan model ini dalam analisis wilayah, terutama terletak pada variabel yang digunakan sebagai alat ukur, dimana dalam fisika variabel yang digunakan, yaitu molekul suatu zat mempunyai sifat yang homogen, namun tidak demikian halnya dengan unsur pembentuk kota, misalnya penduduk. Namun demikian, hal ini telah dikembangkan, yaitu dengan tidak hanya memasukan variabel massa saja, tetapi juga gejala sosial sebagai faktor pembobot.
Persamaan umum model Gravitasi ini adalah :
Pi xPj
Tij--------------- =
P
dimana :
Tij = pergerakan penduduk sub-wilayah i ke sub-wilayah j
Pi = jumlah penduduk sub wilayah i
Pj = jumlah penduduk sub wilayah j
P= jarak antara sub wilayah i –sub wilayah j
Penerapan model grafitasi pada interaksi sosial diperkenalkan oleh Reilly pada tahun 1929 dalam perniagaan. Para geograf pada abad ke-19 telah memakai hukum grafitasi Newton (1687).
Adapun bintarto (1983) menerapkan model grafitasi untuk empat kotamadya di jawa tengah dan DI Yogyakarta, Surakarta, Salatiga dan Magelang, yang lokasinya mengelilingi kompleks gunung kembar Merapi-
Merbabu. Dengan sarana model segi empat ini Bintarto mengukur
interaksi sosial keempat kota tersebut, hasilnya adalah sebagai berikut:
Model grafitasi interaksi antara ke empat kotamadya
Jumlah penduduk kota;
Yogyakarta (Y) = 398.192 orang
Surakarta (S) = 462.825 orang
Salatiga (Sa) = 85.740 orang
Magelang (M) =123.358 orang
Jarak terdekat antara ke empat kota;
Yogyakarta (Y) - Surakarta ( Su) = 60 km
Surakarta (S) - Salatiga (Sa) = 42 km
Salatiga (Sa) - Magelang (M) = 40 km
Magelang (M) - Yogyakarta (Y) =41 km
Maka diperoleh angka-angka interaksi;
I(Y- Su) = 51
I(Su-Sa) = 22
I(Sa-M) = 7
I(M-Y) = 29
Hasil perhitungan diatas menyatakan Surakarta dan Yogya sebagi kota yang memiliki interaksi terbesar (I = 51) artinya frekuensi hubungan sosial, ekonomi dan sebagainya antara kedua tempat tersebut tettinggi jika dibandingkan dengan interaksi antar kodya lainnya. Meski jarak antara keduanya adalah jarak terpanjang dibandingkan jarak Magelang- Salatiga, hal ini dikarenakan dua kodya tersebut merupakn kota budaya dan kota pelajar, jalan yang menghubungkan kedua kota memudahkantransferabilitas disamping jumlah penduduk yang besar pula.
2. Simpulan
Rumusan diatas secara tidak langsung menggambarkan bahwa gaya tarik dua kota di
buktikan dengan adanya mobilitas ataupun bentuk interaksi lain penduduk dari satu wilayah
ke wilayah lain. Daya tarik kota yang kuat akan menarik interaksi yang besar ke dalam
wilayah kota yang bersangkutan.
Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan potensi yang dimiliki desa maupun kota, dan adanya persamaan kepentingan. Unsure-unsur kota juga berperan penting dalam timbulnya daya tarik antar kota, factor fisiogafis,sosial,ekonomi ,teknologi kota yang berbeda satu samalain akan memunculkan suatu interaksi yang mengakibatakan daya tarik antar keduanya. Adanya komplementaritas antar kota akan semakin memperkuat daya tarik antar kedua kota, hal ini juga didukung oleh transferbilitas yang dapat tercipta antar keduanya. Semakin besar tranferbilitas yang terjadi maka dapat dikatakan daya tarik antar kota tersebut sangat kuat, jarak dalam hal ini dapat diatasi dengan pembnagunan akses jalan yang baik, untuk mendukung kelancaran interaksi keduanya.
Daftar pustaka
Daldjoni. N. 1998. Geografi kota. Bandung.PT Allumni.
Hariyono. Paulus. 2007. Sosiologi kota untuk arsitek. Jakarta. PT Bumi
Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar